Selasa, 28 Februari 2017

Bersabarlah Dalam Berinvestasi

Masih berkaitan dengan artikel sebelumnya, di mana kita membahas apa yang sebaiknya kita lakukan jika kita ketinggalan kereta di saham yang kita incar. Dalam artikel kali ini, kita akan membahas lebih detail mengenai kesulitan terbesar seorang investor, yaitu BERSABAR.

Ketika kita membahas tentang investing VS trading di artikel sebelumnya (Anda dapat membacanya kembali di sini), ada satu hal mendasar yang membedakan kedua nya, yaitu TINGKAT KESABARAN dalam menghasilkan profit. Dalam investing, kita membeli saham karena kita melihat perusahaan memiliki fundamental yang bagus dan kita PERCAYA bahwa perusahaan akan menghasilkan kinerja yang lebih bagus lagi ke depannya. Dalam trading, kita membeli saham karena melihat chart bahwa saham tersebut akan uptrend dalam beberapa minggu ke depan. Anda melihat perbedaannya di sini?

Perbedaannya adalah dalam hal mindset Anda dalam berinvestasi. Dalam investing, Anda percaya kepada PERUSAHAAN tersebut, sedangkan dalam trading, Anda percaya kepada CHART. Sehingga ketika Anda trading, dan saham pilihan Anda menghasilkan return yang tidak sesuai ekspektasi, Anda akan kecewa. Namun ketika Anda investing, dan saham pilihan Anda menghasilkan return yang belum sesuai ekspektasi, Anda akan BERSABAR, karena Anda tahu butuh proses dan waktu untuk mencapai profit yang signifikan. Sementara ketika Anda trading, mindset Anda adalah saham mana yang bisa menghasilkan profit dalam waktu instan. Buffett memiliki mindset bahwa dirinya mendapatkan penghasilan dari PERUSAHAAN, bukan dari pasar saham. Pasar saham hanyalah PERANTARA dalam meningkatkan nilai investasi Anda. Saya harap Anda memahami maksud yang ingin saya sampaikan.

Sekarang, coba Anda pikirkan berapa banyak pelaku transaksi harian atau “swing traders” yang pernah mengubah $ 10 juta menjadi $ 1 miliar? Pelaku transaksi harian atau “swing traders” seringkali menjual saham mereka hanya beberapa minggu atau bahkan beberapa hari setelah mereka beli. Seorang Value Investor seperti Warren Buffett dan Lo Kheng Hong, mempertahankan saham selama beberapa tahun, bahkan sampai beberapa dekade.

Pasar saham sendiri sangat bermusuhan dengan pihak yang suka keluar dan masuk (BUY AND SELL), dan cukup ramah terhadap pihak yang membeli dan mempertahankan (BUY AND HOLD). Buffett pernah mengatakan “Investasi adalah di mana Anda menemukan beberapa perusahaan yang bagus kemudian berdiam diri saja di dalamnya. Terlalu banyak tingkah dalam berinvestasi adalah sebuah kesalahan. Kesabaran adalah bagian dari permainan.” Buffett juga mendeskripsikan pasar saham sebagai sarana memindahkan uang dari investor yang tidak sabaran ke investor yang sabar.  

Apakah Anda tahu pembelian saham pertama Warren Buffett sebagai seorang investor? Ketika Warren Buffett berumur 11 tahun, dia melakukan pembelian sahamnya yang pertama, yaitu Cities Service Preferred di harga $38 per lembar saham. Tidak lama setelah itu, Buffett menjual sahamnya di harga $ 40 per lembar saham. Beberapa tahun kemudian, saham tersebut berada di harga $200 per lembar saham. Dari sini lah Buffett belajar mengenai kesabaran dalam berinvestasi.

Well, Anda dapat melakukan latihan mental sederhana berikut ini untuk melatih kesabaran Anda. Bayangkan, ketika Anda membeli saham, keesokan harinya pasar ditutup untuk liburan selama lima tahun. Meskipun saya tahu, tentu saja tidak mudah untuk bersabar, tetapi memiliki temperamen yang tepat merupakan komponen yang benar-benar penting dalam berinvestasi. Ben Graham dalam bukunya “The Intelligent Investor” mengatakan “investor dengan temperamen yang sesuai dengan proses investasi menghasilkan lebih banyak profit daripada mereka yang tidak memiliki temperamen serupa, meskipun mempunyai pengetahuan yang luas mengenai keuangan, akuntansi, dan pasar saham”.

Saya sendiri dulunya merupakan seorang swing trader. Anda dapat melihat cerita lengkap nya di sini. Namun sejak kejatuhan yang saya alami, saya meninggalkan cara swing trader tersebut dan menjadi seorang value investor. Bagi saya pribadi, menjadi value investor jauh lebih cocok buat saya ketimbang swing trader. Saya menjadi jauh lebih sabar. Jika dulu saya membeli saham untuk jangka waktu mingguan, sekarang saya membeli setidaknya untuk 1 tahun. Wah lama donk taking profitnya? Betul memang lebih lama, namun dengan kedisiplinan menggunakan Value Investing ketika memilih saham untuk diinvest, profit yang akan dihasilkan akan jauh lebih tinggi.


Satu hal terakhir, saya memiliki kabar baik untuk Anda. Untuk dapat sukses di pasar, Anda tidak memerlukan kecerdasan dalam menganalisa secara luar biasa. Anda hanya memerlukan kecerdasan rata-rata. Namun, Anda perlu memiliki mindset dan mental layaknya seorang investor, dan salah satunya adalah BERSABAR. 

Minggu, 26 Februari 2017

Argghhh… Saya Ketinggalan Kereta…

Sebagai seorang investor, Anda pastinya ingin membeli sebuah saham dengan fundamental bagus di harga yang murah. Sama hal nya ketika Anda berbelanja, Anda pasti ingin barang dengan kualitas bagus di harga yang murah. Namun, ada kalanya barang-barang yang ingin kita beli harga nya “terlalu mahal”. Apakah kita akan tetap membelinya?

Sebelum kita lanjut lebih jauh, kita perlu refresh terlebih dahulu mengenai kriteria saham yang layak dibeli menurut Value Investing. Ada 2 kriteria penting, yaitu :

1.   Apakah saham tersebut memiliki fundamental bagus? (Net profit bertumbuh, DER (Debt to Equity Ratio) rendah, ROE (Return on Equity) tinggi, Cash Flow positif)

2.      Apakah saham tersebut berada pada harga yang undervalued dibandingkan intrinsic value nya? (PER (Price to Equity Ratio) rendah, PBV (Price to Book Value) rendah, MOS (Margin of Safety) tinggi)

Jika jawaban untuk kedua nya adalah YA, maka barulah Anda boleh membeli saham tersebut.

Nah permasalahannya, seringkali Anda sudah menemukan saham yang memiliki fundamental bagus (kriteria nomor 1), dan Anda sudah memasukkan saham tersebut ke dalam “watchlist” Anda, namun Anda belum mendapatkannya di harga yang tepat. Katakanlah Anda bersiap untuk membeli saham A, saat ini harganya adalah di 300, dan Anda siap untuk menampungnya di harga 290. Ternyata di hari tersebut, muncul sentiment positif yang membuat saham tersebut tidak sampai di harga 290, melainkan langsung naik 30% - 40% dalam beberapa hari perdagangan. Jika sudah ketinggalan kereta seperti ini, bagaimana reaksi Anda?

Kebanyakan investor akan berlomba-lomba untuk membeli saham tersebut, sehingga mendorong harga saham tersebut ke harga yang irasional. Sebagai seorang Value Investor, Anda perlu ingat prinsip Warren Buffett yang sangat terkenal BE FEARFUL when others are greedy and BE GREEDY only when others are fearful, atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia “TAKUTLAH ketika investor lain menunjukkan ketamakannya, dan TAMAKLAH saat investor lain ketakutan”.

Dengan menggunakan metode Value Investing, kita memang dapat menganalisa saham mana yang memiliki fundamental bagus, dan berapa intrinsic value saham tersebut. Namun, tak peduli sejago apapun Anda dalam menganalisa, Anda tidak akan pernah bisa memprediksi secara persis naik turunnya sebuah saham dalam jangka pendek, apalagi mengetahui titik terendah dan tertinggi harga sebuah saham. Wah kalau begitu, Value Investing kurang tokcer dong? Well, di sinilah peran mindset Anda sebagai seorang Value Investor diuji. Anda dapat membaca lagi mengenai mindset seorang investor di sini

Kembali kepada studi kasus di atas, bagaimana kalau kita sudah ketinggalan kereta? Yaa artinya memang peluang di saham yang kita incar tadi sudah tertutup. Namun gak usah panik.. Dengan menggunakan metode Value Investing, kita dapat menemukan saham lain yang peluangnya masih terbuka. Jadi, jangan berkecil hati jika kita ketinggalan kereta di satu saham yang kita incar, peluang di saham lain masih tersedia untuk Anda. Saya punya kabar baik untuk Anda. Apabila Anda dapat menyaring mutiara terpendam di BEI, maka akan selalu ada peluang untuk memperoleh saham dengan fundamental bagus di harga murah. Sekarang pertanyaannya, bagaimana jika semua saham bagus sudah overvalued apabila dibandingkan dengan intrinsic value nya? Itu artinya IHSG secara keseluruhan sudah mengalami bubble, so di sini Anda perlu BERSABAR dengan menunggu IHSG tersebut koreksi ke harga wajarnya, kemudian barulah kita berburu saham bagus dengan harga murah.

BERSABAR memang perlu diakui satu hal yang paling sulit dilakukan oleh kebanyakan investor. Banyak dari investor yang tancap gas terus untuk membeli saham meskipun harga nya sudah overvalued. Ada kala nya kita harus memegang cash karena kita tahu, saham-saham tidak berada di harga wajarnya. Ketika Anda bersabar dan menunggu jadwal keberangkatan kereta berikutnya, dan bukannya ikut-ikutan mengejar kereta apalagi kereta nya sudah full speed, maka peluang akan selalu terbuka untuk Anda.

Rabu, 22 Februari 2017

Berapa Nilai Wajar BUMI dan ke mana Arahnya?

Hari kemarin, Selasa 21 Februari 2017, harga saham sejuta umat, Bumi Resources (BUMI) turun ARB (Auto Reject Bawah) ke harga 294, setelah sebelumnya sempat menyentuh titik tertinggi di 505 pada tanggal 27 Januari yang lalu. Banyak group Whatsapp dan group-group lainnya membicarakan penurunan ini. Banyak sekali yang mengeluh cut loss dan menderita kerugian. Bayangkan, jika Anda membeli BUMI di harga 505 maka nilai investasi Anda sudah berkurang sekitar 40% hanya dalam waktu kurang dari 1 bulan. Mengerikan bukan? Mungkin banyak dari Anda yang merasa bingung ataupun bimbang, apa tindakan yang harus dilakukan? Cut Loss atau Hold? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sekarang mari kita telaah secara Analisa keuangan.



Pergerakan saham BUMI sejak Oktober 2016 – Februari 2017

Laporan Keuangan terakhir BUMI adalah Q3 tahun 2016, di mana secara umum belum ada peningkatan sebenarnya. Pendapatannya turun dari Rp 33.5 Miliar menjadi $ 18.1 Miliar ( -46% ). Ekuitas perusahaan juga masih minus atau defisiensi modal sebesar US$ 2.8 Miliar, serta hutang jangka panjang yang jatuh tempo dalam waktu 1 tahun sebesar $ 3.6 Miliar, di mana jika dalam waktu 1 tahun tersebut, BUMI tidak dapat melunasi hutangnya, mengajukan penundaan pembayaran, atau mengkonversi menjadi saham (convertible bonds), maka BUMI akan dinyatakan pailit alias bangkrut. Jika kita melihat fakta-fakta tersebut, maka BUMI dapat dikatakan memiliki kinerja yang sangat parah.

Namun, di sisi lain ada opportunity yang dapat membuat BUMI dapat kembali meningkat performance nya di tahun 2017 ini. Pertama, kenaikan harga batubara global turut mengerek harga batubara milik BUMI. Average Selling Price (ASP) BUMI sepanjang Januari 2017 adalah US$ 57 per ton, lebih tinggi dibandingkan ASP BUMI selama periode 2016 sebesar US$ 42 per ton (naik 36%). Pencapaian serupa juga ditorehkan dua anak usaha BUMI, yakni PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (KPC). ASP batubara Arutmin Indonesia tercatat mencapai US$ 38 per ton, naik 58% dibanding ASP 2016, US$ 24 per ton. Adapun ASP batubara KPC sebesar US$ 66 per ton, tumbuh 30%. Kedua, BUMI berhasil menyelesaikan proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Pada November 2016, para kreditur BUMI telah menyepakati proposal perdamaian berupa konversi utang menjadi saham. Melalui tukar guling itu, utang komersial BUMI senilai US$ 4,2 miliar akan berkurang menjadi US$ 1,6 miliar. Beban bunga utang BUMI juga akan berkurang lebih dari US$ 250 juta setiap tahun. Yang menarik, konversi utang menjadi saham BUMI akan dilakukan di harga Rp 926,16 per saham. Inilah yang membuat selama 3 bulan terakhir harga saham BUMI meningkat dari Rp 70 – 80 menjadi Rp 505 di Januari kemarin.

Pada tanggal 7 Februari 2017, perusahaan sudah melakukan Rapat Umum Pemegang Luar Biasa (RUPSLB) untuk meminta persetujuan melakukan Penawaran Umum Terbatas V kepada Para Pemegang Saham dalam rangka penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, dan hasilnya adalah disetujui. Anda mungkin bertanya, kalau right issue akan dilakukan di harga Rp 926,16 per saham, mengapa kemarin BUMI kena ARB (Auto Reject Bawah) ke 294? Salah satu alasannya adalah Maybank Kim Eng (ZP) menjadi salah satu penjual terbesar saham BUMI di level Rp294. ZP melakukan penjualan sebanyak 753.000 lot, aksi tersebut berlangsung pada pukul 15:34-16:00 WIB. Saya juga yakin banyak dari Anda yang juga kena panic selling sehingga ikut mendorong jatuhnya harga saham BUMI.

Harga Wajar BUMI
Oke, terlepas dari fluktuatif nya saham BUMI belakangan ini, pertanyaan berikutnya ke mana sebenarnya arah saham BUMI? Oke, sekarang kita lihat. BUMI saat ini memiliki cadangan batubara sebanyak 3 Miliar Ton. Jika kita menghitung secara konservatif dengan asumsi Average Selling Price (ASP) BUMI sepanjang tahun 2016 di kisaran US$ 40 per metrik ton, maka nilai cadangan batubara BUMI masih sebesar US$ 120 miliar. Dari Average Selling Price US$40 tadi, kita ambil konservatif bahwa keuntungan yang diperoleh setelah dikurangi ongkos produksi dan royalti ke pemerintah adalah hanya 5%, maka diperoleh angka US$2. Sementara hutang BUMI setelah konversi utang menjadi saham adalah US$ 1.6 Miliar. Nilai wajar BUMI dapat dihitung dengan cara : (Cadangan batubara BUMI X Profit dari Average Selling Price) – Hutang BUMI à (3 Miliar Ton X $ 2 per Ton) - $ 1.6 Miliar = $ 4.4 Miliar

Sementara itu, jumlah saham beredar BUMI sebelum right issue adalah 36.6 Miliar lembar saham. Oleh karena itu, nilai wajar BUMI per lembar saham adalah $ 4.4 Miliar / 36.6 Miliar lembar saham = $0.12 per lembar saham, atau jika menggunakan nilai tukar US$ 1 = Rp 13,300, maka harga wajar BUMI per lembar saham adalah $0.12 X Rp 13,300 = Rp 1,598 (dibulatkan menjadi Rp 1,600)

Apakah itu berarti harga saham BUMI PASTI akan ke Rp 1,600? Tidak ada yang bisa menjawab, mengingat BUMI adalah saham sejuta umat, di mana banyak faktor yang akan berperan di dalamnya. Investasi di saham BUMI ini lebih ke arah spekulasi ketimbang investasi sebenarnya.

Kesimpulan

So, kesimpulannya adalah : jika Anda ingin berinvestasi di saham yang dapat membuat Anda tidur nyenyak, saya menyarankan agar Anda invest di saham lain yang lebih sesuai dengan kaidah value investing. Namun, jika Anda memang ingin mencoba untuk berspekulasi, Anda bisa “mencicipi” saham ini. Namun, seperti biasa, Anda bertanggung jawab terhadap investasi Anda sendiri. Bagi Anda yang sahamnya masih nyangkut, semoga artikel ini dapat sedikit menenangkan hati Anda.

Senin, 20 Februari 2017

Tipe Investor Seperti Apakah Anda?

Setiap orang punya profil nya masing-masing. Sama hal nya dengan investor yang punya tipe profil resiko masing-masing. Ada 3 tipe investor menurut profil resiko dalam berinvestasi, di mana hal ini akan membantu Anda dalam memilih produk investasi apa yang cocok :

1.       Tipe Konservatif (Risk Averse) : Investor yang memiliki kecenderungan menanam investasi dengan keuntungan (yield) yang layak; cenderung memilih instrument aman dengan hasil yang sudah diketahui sebelumnya. Mereka biasanya berinvestasi untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga dengan rentang waktu investasi yang cukup panjang.

2.       Tipe Moderate (Risk Neutral) : tipe investor yang menginginkan resiko menengah. Investor tipe ini selalu mencari proporsi yang seimbang antara resiko yang mungkin terjadi dengan pendapatan yang dapat diraih. Tipikal investor ini, mereka akan selalu berhati-hati dalam memilih jenis investasi. Hanya investasi proporsional yang akan dipilih.

3.       Tipe Agresif (Risk Taker) : Investor tipe ini umumnya berinvestasi dengan rentang waktu relative pendek, karena mengharapkan adanya keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat. Cenderung memilih produk yang mengalokasikan dananya pada instrument pasar yang beresiko tinggi.



Anda mungkin sering mendengar saham adalah tipe instrumen investasi yang High Risk – High Return. Apakah jika saya termasuk tipe investor yang tipe konservatif dan tipe moderate, apakah saham tidak cocok untuk saya? Well jawabannya bisa iya bisa tidak. Mungkin jika Anda termasuk tipe investor yang tipe konservatif dan tipe moderate, Anda bisa berinvestasi di ORI, Reksadana Campuran, atau instrumen investasi lainnya yang lebih rendah resiko nya.

Namun, jika Anda memutuskan ingin berinvestasi di saham, jangan takut untuk memulai. Saya sendiri dalam berinvestasi tingkat pengambilan resiko nya sudah jauh berkurang dibandingkan 8 – 9 tahun lalu ketika mulai berinvestasi. Dulu mungkin saya 100% risk taker dalam memilih saham. Namun, setelah berkeluarga, saya pun menjadi jauh lebih dewasa dalam berinvestasi. Profile resiko saya saat ini adalah moderate aggressive. Pilihan-pilihan saham Penulis saat ini bukanlah saham yang bisa “naik cepat”, melainkan saham yang punya fundamental bagus dan valuasinya murah. Saham-saham tersebut mungkin tidak menghasilkan profit instan seperti saham-saham gorengan. Saham-saham tersebut tetap akan menghasilkan profit yang unbelievable, namun tetap membutuhkan waktu. Bagi saya, yang penting saya bisa menghasilkan profit yang reasonable namun konsisten sesuai dengan target saya, daripada harus spectacular namun volatile nya sangat tinggi. Anda bisa baca lagi postingan saya tentang Reasonable & Consistent Returns >Spectacular & Volatile Returns .

Investor-investor kelas dunia macam Warren Buffett pun sebenarnya bukan orang yang aggresive dalam mengambil resiko. Jam terbang lah yang dengan sendirinya akan membentuk kedewasaan seorang investor. Jika Warren Buffett adalah orang yang agresif dalam mengambil resiko, Beliau pasti sudah tergoda dalam mengambil saham tech company. Akan tetapi, Warren Buffett memilih untuk berinvestasi di saham-saham yang bisnis nya sederhana namun memiliki fundamental yang sesuai dengan standard nya.

Satu hal yang ingin saya tekankan di sini adalah tidak ada yang salah apakah anda adalah tipe konservatif, tipe moderat atau tipe agresif. Itu semua kembali kepada profil resiko kita masing-masing sebagai investor. Namun perlu dibedakan seorang investor yang risk taker dengan seorang investor yang SOK risk taker. Seorang investor yang risk taker tetap mengetahui resiko yang akan dia tanggung jika ternyata keputusan investasinya tidak sesuai yang diharapkan, dia tetap bisa mengukur batas bawah kerugian yang akan ditanggung. Sementara seorang yang sok risk taker,  dia bertindak dahulu (mengeksekusi keputusan dalam berinvestasi) tanpa mengetahui berapa besar resiko yang akan ditanggung, hanya untuk terlihat keren dan berani saja.

Apabila Anda ingin mengetahui profile resiko Anda, Anda bisa menggunakan test sederhana untuk mengukur profil resiko Anda di sini. Semoga artikel ini bermanfaat bagi Anda.

Jumat, 17 Februari 2017

Let the Profit Runs


Setiap dari seorang investor saham pasti nya menginginkan satu hal dalam berinvestasi saham : PROFIT. Tak ada satupun dari seorang investor yang ingin menanggung loss. Masalahnya, kebanyakan investor memiliki kebiasaan yang menurut saya kurang tepat. Ketika sebuah saham uptrend, justru tangan gatel ingin cepat-cepat pencet tombol SELL untuk merealisasikan keuntungan. “Takut turun lagi soalnya Pak, sayang mending saya taking profit dulu”. Sudah profit berapa? “Lumayan 10%”. Kemudian ketika dicek fundamental nya, ternyata saham tersebut meskipun sudah terapresiasi 10%, harganya masih relatif muraahhhh.


Memang tidak ada yang salah dengan taking profit dan memang benar ada kemungkinan saham tadi akan terkoreksi dahulu dalam waktu dekat, katakanlah 5%. Namun dalam Value Investing, selama saham tadi fundamentalnya bagus dan valuasinya masih murah, dianjurkan untuk hold terus. Lalu kapan jualnya?? Bisa ada 4 kemungkinan :
1.       Ketika saham tersebut laporan keuangannya sudah tidak sebagus sebelumnya lagi
2.       Ketika saham tersebut sudah terlalu mahal valuasinya
3.       Kalau ada keperluan mendesak atau urgent sehingga harus menarik uang investasi
4.       Terjadi krisis ekonomi

Di luar dari 4 alasan tadi, yaa anda pegang terus saja. Toh Anda sudah menemukan saham yang bagus, di harga murah, kurang apa lagi?

Mungkin Anda sering membaca berita bahwa saham A target price nya adalah naik 10%, sehingga ketika tercapai 10% tadi, Anda langsung buru-buru jual saham Anda. Saya ingin membuka wawasan Anda lebih jauh. Apakah Anda tahu bahwa di 2016 kemarin, beberapa saham bisa terapresiasi sahamnya hingga ratusan persen? Berikut adalah 10 kenaikan saham terbesar sepanjang 2016 :
-          NIKL : PT Pelat Timah Nusantara Tbk (+ 4,840%)
-          INAF : PT Indofarma Tbk ( + 2,525%)
-          BRPT : PT Barito Pacific Tbk ( + 1,011 %)
-          DOID : PT Delta Dunia Makmur Tbk ( + 789%)
-          SMBR : PT Semen Baturaja Tbk ( + 783%)
-          PPRO : PT Properti Tbk ( + 551%)
-          SSTM : PT Sunson Textile Manufacture Tbk ( + 534%)
-          INDY : PT Indika Energy ( + 513%)
-          TPIA : PT Chandra Asri Petrochemical ( + 488%)
-          DEFI : PT Danasupra Erapacific ( + 443%)

Mau contoh yang lebih fenomenal lagi? Anda pasti tahu investor saham kawakan Indonesia yang saat ini memiliki kekayaan sekitar Rp 2.5 triliun dari investasi di saham. Bapak Lo Kheng Hong pada tahun 2005 membeli saham PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI), perusahaan ternak ayam terbesar kedua di Indonesia seharga Rp 250. Bapak Lo Kheng Hong mendapatkan sekitar 6 juta saham MBAI atau sekitar 8,28 % dari total saham MBAI yang beredar di pasar.  Setelah beliau simpan selama 6 tahun, harganya naik menjadi Rp 31.500 dan beliau menjualnya di 2011. Beliau memperoleh untung 12.500%. 

Investor terbesar di dunia, Warren Buffett juga sama. Beliau seorang Value Investor sejati. Kepemilikannya di berbagai saham seperti American Express (sejak 1960-an), Wells Fargo (sejak 1989) serta Coca-Cola Company (sejak 1987) sudah dipegangnya sejak puluhan tahun yang lalu.

So, poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah ketika Anda sudah yakin dengan saham yang Anda pilih, jangan terburu-buru untuk menjual. Apalagi jika Anda sudah cek fundamental perusahaan tersebut. Let the profit runs, begitu kira-kira istilah kerennya. Memang tidak mudah untuk menerapkan kedisiplinan ala Bapak Lo Kheng Hong dan Warren Buffett ini. Namun, tidak ada salahnya jika kita belajar menerapkan strategi kedua tokoh Value Investor terbesar di dunia ini.


Kamis, 16 Februari 2017

5 Pantangan Dalam Berinvestasi

Dalam investasi saham, baik itu untuk investasi ataupun trading, ada beberapa pantangan yang sebaiknya Anda hindari. Sama seperti Anda membawa kendaraan, ada rambu lalu lintas yang kalau dilanggar, bisa mengakibatkan hal yang kurang baik terhadap Anda sendiri. Apa saja itu?

1.       Jangan menggunakan fasilitas margin.
Apakah Anda tahu bahwa sebenarnya Anda memiliki fasilitas margin dari sekuritas Anda? Apa sih fasilitas margin itu? Misalkan Anda memiliki dana untuk bertransaksi Rp 100 juta, biasanya Anda memiliki “cadangan” untuk bertransaksi di luar Rp 100 juta tadi yang diberikan oleh sekuritas Anda. Jadi ibaratnya Anda bertransaksi, tapi duitnya ditalangin dulu sama sekuritas. Besarnya pun bervariasi. Ada yang ½ X nya (Rp 50 juta) sampai 4X nya (Rp 400 juta). Seriously? Punya dana Rp 100 juta, tapi bisa transaksi Rp 400 juta lagi pakai uangnya sekuritas? Enak banget donk… Eits nanti dulu… Pertama, perlu Anda ketahui pinjaman dari sekuritas tersebut ada bunganya, sehingga Anda perlu membayar bunganya. Kedua, kalau saham yang anda beli dengan menggunakan fasilitas margin ini bukannya naik malah turun, kerugian yang Anda alami malah lebih besar daripada yang seharusnya. Berikut ini saya sajikan ilustrasi yang semoga membuat Anda memahami betapa bahayanya fasilitas margin.

Anda beli saham A dengan menggunakan dana pribadi Anda sebesar Rp 100 juta, kemudian Anda yakin betul bahwa saham A tadi akan naik 10%, sehingga Anda menggunakan fasilitas margin Rp 400 juta tadi.

Ekspektasi :
Anda berpikir, kalau pake dana sendiri Rp 100 juta, untung 10% dapat profitnya Rp 10 juta. Kalau pakai margin Rp 400 juta, maka bisa dapat tambahan profit Rp 40 juta. Wah total profit nya bisa Rp 50 juta.

Realita (yang sering kali terjadi) :
Saham A tadi bukannya naik 10%, melainkan malah turun 10%. Sehingga seharusnya Anda “hanya” rugi Rp 10 juta, malah makin bonyok karena ruginya bertambah Rp 40 juta menjadi Rp 50 juta. Mengerikan, bukan?

Percayalah, saya pernah di posisi itu dan rasanya super enggak enak. Fasilitas ini sebenarnya adalah alat yang digunakan para sekuritas untuk mengeruk keuntungan tambahan dari Anda, dengan memanfaatkan psikologis dasar seorang manusia, yaitu sifat serakah.

2.       Jangan menggunakan dana dari pinjaman atau hutang
Berbeda dengan poin sebelumnya, jangan berhutang di sini maksudnya jangan berinvestasi menggunakan hutang atau dana pinjaman pihak ketiga. Misalkan anda menggunakan dana pinjaman dari bank; hutang ke teman, saudara, atau keluarga. Mengapa? Alasannya sama seperti poin sebelumnya, jika market sedang bearish (turun) dan saham anda ikutan turun, kerugian Anda akan lebih besar daripada yang seharusnya PLUS hubungan Anda dengan teman, saudara, atau keluarga Anda menjadi tidak enak.

Berinvestasi dengan menggunakan hutang atau dana pinjaman juga akan membuat Anda tidak nyaman, karena bagaimanapun itu bukan uang Anda sendiri. Secara psikologis, karena beban Anda untuk mengembalikan uang tersebut, justru membuat Anda biasanya melakukan keputusan-keputusan yang merugikan Anda sendiri.

Satu hal lagi, jangan berinvestasi dengan menggunakan dana darurat Anda. Jangan menyentuh dana darurat Anda. Karena kita tidak pernah tahu sewaktu-waktu kita membutuhkan dana tersebut untuk keadaan darurat. So sebaiknya gunakan uang dingin untuk berinvestasi (uang yang memang “menganggur” dan dapat diinvestasikan).

3.       Jangan membeli saham berdasarkan valuasi atas proyeksi kinerja di masa yang akan datang
Anda pasti pernah membaca ulasan tentang prospek saham di surat kabar tertentu. Biasanya di situ selain mencantumkan historical kinerja perusahaan, dicantumkan pula proyeksi kinerja perusahaan yang akan datang. Di angka tahunnya biasa ada huruf f (future), contoh : 2017F, 2018F, dst. Dan biasanya, PER dan PBV nya juga dihitung berdasarkan kinerja yang akan datang. Ini tidak benar. Bagaimana mungkin valuasi harga saham saat ini dihitung berdasarkan kinerja di masa yang akan datang?

Yang namanya proyeksi sih memang sah-sah saja, artinya kita optimis bahwa perusahaan tersebut melalui tahun ini dengan baik, maka dipercaya tahun depan akan lebih baik. Namun, apapun bisa terjadi. Banyak faktor risiko yang biasanya lupa diperhitungkan ketika membuat proyeksi. Misal : faktor ekonomi, sosial dan politik, teknologi, kompetitor, sampai cuaca sangat mempengaruhi kinerja perusahaan. Penulis sendiri lebih suka menggunakan proyeksi sebagai bahan pertimbangan saja, bukan untuk melihat valuasi perusahaannya.  

4.       Jangan membeli saham yang masuk ke dalam kategori saham gorengan
Apa itu saham gorengan? Saham gorengan adalah saham yang dikuasai oleh bandar tertentu yang pergerakannya liar dan sulit diprediksi. Saham sejenis ini kadang bisa naik signifikan dalam sehari, tapi hari berikutnya tiba-tiba anjlok tanpa alasan yang jelas. Pergerakan yang tidak wajar karena ada bandar di belakangnya. Banyak trader atau investor yang masih tertarik dengan saham sejenis ini, karena keuntungan besar yang bisa diperoleh. Namun di sisi lain, resiko nya juga sangat besar. Memang menggiurkan ketika Anda bisa mendapatkan profit puluhan sampai ratusan persen dalam beberapa minggu, namun sewaktu-waktu harganya bisa anjlok kembali. Berikut ilustrasinya..

Anda mendengar dari teman Anda Saham X naik 10% dari 60 ke 66 hari ini. Besoknya, Anda beli saham X tadi di harga 66. Eh ternyata masih naik lagi jadi 72, Anda beli lagi di 72. Besok nya masih naik juga ke 80, karena tadi sudah 2x beli dan Anda selalu untung, maka biasanya Anda akan sangat percaya diri. Anda berpikir bahwa kali ini dengan beli di 80, pasti besok akan naik lagi. Anda pun membeli dengan segala kekuatan yang Anda punya di harga 80. Gk taunya sebelum tutup perdagangan hari ini, harganya mulai turun ke 77. Anda mulai deg-degan. Tapi Anda masih optimis, palingan turun sebentar, besok juga naik lagi. Ternyata besok terjun bebas ke 66, balik ke posisi awal beli pertama, sehingga saham anda sekarang berada di posisi nyangkut.

Apa ciri-ciri saham gorengan? Biasanya pergerakan sahamnya liar (anda bisa lihat historical transaction nya) tanpa ada pola yang jelas. Volume perdagangannya juga tiba-tiba melesat di saat-saat tertentu (saat lagi “digoreng”), padahal biasanya saham tersebut volume nya kecil. Selain itu, kenaikannya biasanya tidak dibarengi dengan kenaikan fundamentalnya (laporan keuangannya masih jelek).

“Tapi kan kita bisa untung lebih cepat pak dari saham gorengan”. Oke Anda sekali dua kali untung besar dari saham gorengan, kemudian Anda mulai kecanduan dan percaya deh pasti Anda akan kepeleset suatu saat nanti. Lagian, kalo makan gorengan terus gk baik buat kesehatan (okay, it’s a joke..).  

5.       Jangan membeli saham yang terlalu sering direkomendasikan di media, atau dipenuhi oleh banyak rumor
Pantangan ini sebenarnya berkaitan dengan pantangan membeli saham gorengan tadi. Saham-saham gorengan tadi biasanya sering diberitakan ataupun direkomendasikan di media, sehingga membuat investor makin “gatal” untuk membeli saham tersebut. Bisa jadi itu adalah rumor atau berita pesanan. Tidak semua berita atau informasi yang kita lihat di media itu benar adanya.

Jika Anda membeli sebuah saham karena rumor, di sini Anda tidak sedang berinvestasi, melainkan berspekulasi, apalagi jika Anda membeli tanpa mengecek fundamental dari saham yang bersangkutan. Hindarilah tindakan-tindakan spekulasi yang justru bisa membahayakan investasi Anda.

Lalu bagaimana cara memverifikasi apakah sebuah berita itu benar atau tidak? Anda bisa menghubungi corporate secretary perusahaan yang bersangkutan, atau Anda bisa mengecek nya di website perusahaan dan IDX secara langsung.


Mungkin Anda bertanya, “Memangnya kalau kita tetap menjalankan kelima hal tadi apakah akan langsung kejadian hal-hal jelek yang disebutkan di atas?” Well, enggak juga. Sekali dua kali Anda mungkin belum mengalaminya, sehingga makin lama anda makin berani, dan saat keserakahan mulai menguasai Anda, di sini lah Anda akan mulai sulit untuk melepaskannya dan terjadilah hal-hal yang disebutkan di atas. Saya pernah mengalami hal ini, dan saya tidak mau hal ini terjadi kepada Anda.

Senin, 13 Februari 2017

Pilih Kesederhanaan, Bukan Kompleksitas

Artikel ini akan membahas salah satu prinsip investasi Warren Buffett : Berinvestasilah di bisnis yang sederhana. Well, saya akan memberikan ilustrasi mengenai memilih bisnis bagaimana kita memilih pasangan hidup (suami / istri). Katakan lah saat ini Anda sedang didekati oleh dua calon pasangan hidup Anda.

Calon pertama :
Calon pertama ini sebenarnya sangat royal. Satu saat bisa saja dia mentraktir Anda di restoran mewah atau membelikan hadiah yang mahal untuk Anda. Namun di saat yang berbeda, tiba-tiba dia bilang kepada Anda, “saat ini kita jangan makan di restoran mewah dulu yah” atau “aku lagi tidak bisa memberikan hadiah nih”. Anda jadi penasaran, apa sih pekerjaannya? Ternyata setelah Anda teliti, calon pertama ini pekerjaannya kompleks sekali, sehingga sewaktu-waktu dia bisa mendapatkan uang dalam jumlah banyak. Namun di saat yang lain, bisa saja bisnis nya menjadi seret dan berisiko tinggi untuk tidak mendapatkan penghasilan di saat tertentu.

Calon kedua :
Calon kedua ini orangnya sederhana. Namun anda tahu dengan jelas pekerjaannya dan sumber pendapatannya. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan atau usaha nya makin berkembang. Penghasilannya juga ikut naik. Dan seiring penghasilannya meningkat, dia bisa membelikan hadiah mulai dari yang sederhana sampai ke yang lebih mewah. Seiring penghasilannya meningkat, Anda juga ikut untuk menikmatinya. Risiko untuk dia tidak mendapatkan penghasilan juga sangat minimum.

Jika saya menjadi Anda, saya akan memilih calon yang kedua. Mengapa? Karena di calon pertama, kita saja sebagai calon pasangan hidupnya tidak tahu dengan jelas sumber pendapatannya dari mana. Kita jadi khawatir dan pastinya jadi takut untuk melangkah lebih jauh. Sedangkan di calon kedua, kita akan jauh lebih tenang sebagai calon pasangan hidupnya, karena kita tahu dengan jelas pekerjaan atau usahanya apa, dari mana sumber pendapatannya. Kita akan lebih tenang untuk melangkah lebih jauh bersamanya.
  
Pada saat berinvestasi juga sama. Warren Buffett hanya akan berinvestasi pada bisnis-bisnis yang mudah dipahami, solid, dan bertahan lama yang penyebab kesuksesannya dapat dijelaskan dengan sederhana, dan dia tidak pernah berinvestasi pada bisnis rumit yang dia tidak pahami. Filosofi tersebut tidak memerlukan kemampuan matematis yang rumit, latar belakang pendidikan finansial, atau pengetahuan mengenai perekonomian atau pasar saham akan berlangsung di masa yang akan datang. Bahkan, kompleksitas justru sering kali merugikan Anda. Sebuah pelajaran penting yang dipetik Buffett dari gurunya, Benjamin Graham, adalah Anda tidak harus “melakukan hal yang luar biasa untuk mendapatkan hasil yang luar biasa”.


Berinvestasilah di bisnis yang simple dan sederhana

Belilah saham dari perusahaan yang business model nya jelas, sederhana, dan sustainable atau bertahan jangka panjang. Hindari perusahaan yang business model nya kompleks. Bagaimana cara mengetahui perusahaan mana yang business model nya jelas dan sederhana? Gampang. Anda pasti sering makan mie instan kan (INDF)? Atau Anda pasti sering melakukan transaksi di ATM (BBCA, BMRI, BBRI, etc), menggunakan jalan tol (JSMR, CMNP), memakai pulsa HP untuk berkomunikasi (TLKM, EXCL, ISAT), atau menggunakan kendaraan yang banyak dijumpai di jalanan (ASII). Lihatlah produk apa yang banyak di sekeliling Anda, kemudian cari apakah perusahaan yang memproduksi barang tersebut terdaftar di Bursa Efek Indonesia? Jika jawabannya iya, maka Anda bisa berinvestasi di perusahaan tersebut, namun pelajari terlebih dahulu laporan keuangannya.

Selalu pertahankan kesederhanaan. Jangan membuat investasi menjadi seolah-olah sesuatu yang sulit. Tentukan sendiri keputusan investasi Anda. Berhati-hatilah terhadap pialang saham yang secara agresif membujuk Anda untuk bertransaksi saham dalam frekuensi tinggi hanya demi mempertebal komisi yang akan mereka dapat, karena jika demikian, jelas bahwa mereka bukan pihak yang mengutamakan kepentingan Anda.

Jumat, 10 Februari 2017

Benarkah Investasi Tetangga Selalu Lebih Hijau?

Kita sering mendengar istilah rumput tetangga selalu lebih hijau. Apa iya benar begitu? Jika memang rumput tetangga selalu lebih hijau, Anda akan selalu melihat ke samping dan membandingkan Anda dengan orang lain. Dengan kata lain, Anda tidak akan pernah puas. Begitu pula dengan investasi. Anda kemungkinan besar pasti pernah membandingkan portfolio yang Anda pegang saat ini dengan portfolio teman Anda, atau mungkin investment club Anda, dan Anda merasa bahwa return yang Anda dapatkan sekarang tidak menarik dibandingkan dengan investasi teman Anda. Namun, Anda perlu ingat bahwa tidak ada satupun investor di dunia ini yang memiliki gaya, strategi, tujuan investasi, atau tingkat penerimaan risiko yang 100% sama, karena kita semua adalah individu yang berbeda.



Rumput tetangga selalu lebih hijau?


Anda mungkin pernah mengalami beberapa contoh kejadian berikut ini :

Contoh 1 :
Asumsikan Anda membeli saham A di Rp 60 per lembar saham, dan berniat menjual di Rp 90 per lembar saham. DI tengah perjalanan, Anda melihat teman Anda ternyata memegang saham B beli di Rp 50 dan keluar di Rp 100 dalam waktu 1 minggu. Sementara dalam waktu sebulan, saham A Anda tadi masih berada di Rp 68 per lembar saham.

Contoh 2 :
Anda membeli saham C setiap bulannya secara berkala dengan tujuan sebagai uang pensiun dalam jangka waktu 10 tahun dari sekarang. Anda sudah memperkirakan akan mendapat ROI sebesar 300% dalam waktu 10 tahun. Namun, manajer investasi Anda tiba-tiba menceritakan saham D dalam waktu 1 tahun bisa memperoleh ROI sebesar 250%.

Bagaimana perasaan Anda? Hmm sebagai manusia normal, pastinya ada perasaan iri, kecewa, sedikit menyesal karena portfolio saham Anda menjadi kurang seksi dibandingkan dengan teman Anda atau yang manajer investasi Anda ceritakan. 

Hmm.. sekarang coba kita balik ceritanya. Bayangkan Anda berada di posisi teman Anda, di mana portfolio Anda melejit jauh lebih cepat daripada teman Anda. Apa yang ada di pikiran Anda? Saya berani bertaruh, 80% kemungkinan Anda akan bilang “main saham itu cara mudah dan cepat dapat duit”, dan karena uang yang Anda dapatkan “mudah dan cepat”, maka selanjutnya Anda akan membuang profit yang sudah Anda dapatkan. Mungkin Anda akan membeli mobil mewah, berlibur ke Las Vegas (atau mungkin berjudi di sana), atau hal-hal konsumtif lainnya. Anda menjadi kemaruk dan membuang uang yang Anda dapatkan. Anda mungkin ngeles dengan beralasan bahwa hal tersebut Anda lakukan untuk menikmati hasil jerih payah Anda. Kemudian, sepulangnya dari Las Vegas, karena Anda menganggap main saham itu mudah dan cepat dapat duit, Anda jadi sombong. Anda kemudian main lagi di saham dan hasilnya sekarang? Zonk!!! Karena ketamakan Anda tadi, Anda harus cut loss 50%.

Bandingkan dengan jika Anda meraih profit yang reasonable namun konsisten, meskipun tidak terlalu spektakuler, Anda akan menjaga betul uang hasil investasi Anda. Anda mungkin “hanya” profit 20 – 30% per tahun namun konsisten, Anda akan berlaku jauh lebih bijak menjaga uang Anda daripada hot money yang Anda dapatkan dalam waktu cepat. Dalam investasi berikutnya pun, Anda juga akan menjadi berhati-hati dengan memperhatikan fundamental perusahaan tersebut sebelum membeli, bukannya membeli karena saham sebelah naik lebih cepat.


Saat Anda sudah merealisasikan profit, Anda sebenarnya memiliki dua pilihan : memutarkan profit anda kembali, atau menghamburkannya. Menggunakan sebagian dari profit untuk hal yang Anda sukai memang tidak salah, karena Anda perlu menghargai diri Anda sendiri. Namun alangkah baiknya jika tidak berlebihan. Ingatlah jika Anda menang besar hari ini, belum tentu Anda menang besar esok hari. Tetaplah membumi.

Kamis, 09 Februari 2017

Cut Loss – Resep Jitu Hilang Uang

Saya sangat semangat sekali ketika menulis artikel ini. Semangat karena cut Loss menjadi menu sehari-hari ketika Penulis masih menjadi seorang active trader. Mulai dari cut loss 2 – 3% sampai dengan cut loss puluhan persen.

Ketika menjadi trader, Penulis tidak memperhatikan yang namanya analisa fundamental (dan ini kebodohan Penulis yang terbesar). Penulis hanya melihat grafik dan chart mingguan, serta sentimen terbaru tentang perusahaan. “chart nya cakep nih..” itu saja yang ada di pikiran Penulis dalam memutuskan membeli sebuah saham ketika menjadi trader. Beberapa hari setelah beli, ternyata seringkali saham tersebut ternyata malah turun. Dalam trader, kita mengenal batas stop loss, biasanya 5%, sehingga kerugian yang kita alami kita batasi hanya 5%. Sekilas ini ide yang bagus, karena seolah kita membatasi kerugian agar tidak terlalu besar. Selanjutnya apa yang terjadi? Setelah cut loss, biasanya kita penasaran dan berharap saham tersebut jatuh lebih dalam lagi supaya kita siap menampung di bawah. Ternyata apa yang terjadi? Saham tersebut malah rebound ke atas dan kita ketinggalan kereta. Kita cuma bisa gigit jari. “Sialan, tau gitu gk gw jual”. Pasti banyak yang berpikiran begitu. Anda perlu hati-hati, jika Anda mulai seperti ini, Anda secara tidak sadar mulai melihat investasi di saham ini seperti meja judi.

“Wah, kalau saham turun, artinya kita gk usah jual alias hold aja terus pak?” Well, enggak juga. Penulis ingat membeli saham BUMI di harga 800 ketika akhir tahun 2012, dan sempat uptrend menyentuh 1000. Tak lama kemudian, BUMI kembali turun ke 700, 600, 500, dan terus turun. Para Analis waktu itu rekomendasi HOLD, karena sentimen-sentimen nya masih positif. Kemudian turun terus 400, 300, 200.. Barulah di harga 200 ini, para analis merekomendasikan SELL. Kalau kita hitung, penurunannya sudah 75%. Penulis hanya bisa pasrah. Antara rela dan tidak rela rugi 75% (Meskipun saat artikel ini ditulis BUMI rebound ke level 400 - 500, namun sempat 2 tahun nongkrong di 50 dan tidak ada bid). Belum lagi, waktu itu Penulis juga menggunakan margin (kebodohan Penulis yang kedua), sehingga yang Penulis jual waktu itu adalah saham lain (yang sialnya posisi nya lagi nyangkut juga). Setelah Penulis memahami konsep Value Investing, dan Penulis melihat laporan keuangan BUMI, barulah di situ Penulis hanya bisa meratapi nasib (lebay mode on).

Grafik saham BUMI periode 2012 – 2017

“Waduh kalau gitu, gimana saya tahu kapan harus cut loss dan kapan harus hold?” Oke begini, sebelum pertanyaan tersebut kita jawab, kita perlu ingat terlebih dahulu prinsip investasi Warren Buffett, “Never lose money on investment”. Di sini Buffett mengindikasikan, bahwa sebelum memutuskan untuk membeli sebuah saham, seorang investor harus tahu betul fundamental perusahaan tersebut, dan apakah kita membeli saham tersebut di harga yang murah (undervalued) atau mahal (overvalued). Jadi, jangan membeli saham karena ikut-ikutan arus karena saham tersebut lagi naik kenceng.

Yang kedua, dalam investasi kita tahu bahwa pergerakan saham sangat volatile. Dalam jangka pendek, sebuah saham akan naik dan turun seiring dengan sentiment positif dan negatif. Namun dalam jangka panjang, semua itu kembali kepada FUNDAMENTAL PERUSAHAAN. Anda perlu menganalisa dan melihat lebih dalam, alasan mengapa saham yang Anda pegang saat ini sedang mengalami penurunan.

Oke, kembali ke pertanyaan, “kapan saya harus cut loss dan kapan harus hold?”. Dalam Value Investing, selama saham tersebut masih memiliki FUNDAMENTAL YANG BAGUS dan masih BELUM OVERVALUED, maka investor disarankan tetap untuk HOLD saham tersebut. Sementara apabila saham tersebut memiliki FUNDAMENTAL YANG JELEK (atau tidak lagi sebagus sebelumnya) dan SUDAH OVERVALUED, maka investor disarankan untuk SELL saham tersebut.

Untuk lebih mudahnya, saya akan memberikan Anda 2 contoh:

CONTOH 1 :
Saham A anda beli di harga 500, kemudian turun menjadi 450. Anda cek fundamental perusahaan tersebut. Ternyata berdasarkan laporan keuangan terakhir perusahaan tersebut Net Profit nya masih bertumbuh, EPS nya naik, PER nya masih masuk kategori murah dan di bawah industry, PBV nya juga masih masuk kategori murah, ROE nya pun masih relatif oke. Dan setelah Anda teliti lagi, ternyata saham tersebut turun karena ada sentimen atau rumor negatif yang menimpa perusahaan tersebut. Maka Anda masih okay untuk HOLD saham ini karena penurunannya hanya sementara dan pasti akan rebound lagi. Bahkan kalau Anda masih mempunyai cadangan cash, Anda boleh saja menambah posisi untuk averaging down.

CONTOH 2 :
Saham B anda beli di harga yang sama 500, kemudian turun juga menjadi 450. Anda cek fundamental perusahaan tersebut. Ternyata berdasarkan laporan keuangan terakhir perusahaan tersebut Net Profit nya turun dibandingkan periode sebelumnya atau malah RUGI, EPS nya turun, PER nya sudah masuk kategori mahal dan di atas industry, PBV nya juga sudah masuk kategori mahal, ROE nya pun kecil. Namun masih ada sejumlah pihak yang menghembuskan prospek positif misalkan akan ada project besar di 2 – 3 tahun mendatang. Maka Anda tidak usah ragu lagi untuk SELL saham ini. Meskipun ada prospek positif tentang project besar 2 – 3 tahun mendatang, toh itu kn masih prospek. Bisa jadi bisa tidak. Dapat project nya pun belum tentu menguntungkan buat perusahaan tersebut.


So, semoga sekarang Anda lebih memahami kapan kita perlu untuk Cut Loss dan kapan kita perlu untuk hold saham yang kita pegang. Jika Anda masih kurang jelas, Anda dapat bertanya melalui Facebook : www.facebook.com/ValueInvestingIndonesia, atau reply via website / blog ini. Anyway, jika Anda kurang setuju dengan artikel ini juga sah-sah saja J.

Rabu, 08 Februari 2017

Inilah Alasan Mengapa Anda Harus Memulai Investasi Sekarang

Ketika awal Penulis mulai berinvestasi di pasar saham di 2008, saat itu usia Penulis adalah 20 tahun. Penulis patungan dengan beberapa teman di kampus karena waktu itu masih ada modal minimum Rp 10 juta untuk buka account di pasar modal. Ketika artikel ini ditulis, usia Penulis adalah 29 tahun. Jadi kurang lebih sudah 8 – 9 tahun Penulis berinvestasi di pasar saham. Penulis termasuk beruntung karena waktu itu “dipaksa” oleh teman untuk ikut patungan buka account di salah satu sekuritas. Padahal waktu tahun 2008, teknologi belum secanggih sekarang. Online trading juga belum ada sehingga kalau jual dan beli harus telpon ke sekuritas bersangkutan. Laporan keuangan pun sangat sulit diakses. Buku-buku referensi tentang saham juga masih sangat terbatas.

Bagaimana dengan Anda sekarang? Semua sekuritas rasanya sudah memiliki fasilitas Online Trading, sehingga Anda bisa melakukan transaksi di manapun dan kapanpun. Laporan keuangan dan aktivitas korporat dapat dilihat di situs www.idx.co.id. Sekarang juga banyak sekali buku-buku yang membahas tentang saham. Anda juga dapat mencari referensi lain tentang saham dari Mbah Google. Intinya, dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, memudahkan Anda untuk memulai untuk berinvestasi di pasar saham.

Lalu pada usia berapa saya harus memulai investasi? Kembali lagi jawaban saya adalah SEKARANG. Katakan saat ini umur Anda adalah di awal 20 - an. Maka Anda sangat beruntung, karena Anda memiliki WAKTU yang lebih panjang dibandingkan dengan orang-orang lain yang baru memulai investasi di awal umur 30 – an atau 40 – an. Anda berada di waktu yang paling tepat untuk memulai. Meskipun dana yang Anda miliki saat ini belum seberapa tidak menjadi masalah, karena dengan kedisplinan dalam berinvestasi, jumlah dana yang Anda miliki akan semakin besar seiring berjalannya waktu. Tokoh ternama dunia, Warren Buffett, memulai investasi pertamanya di usia 11 tahun. Ia tidak memulai investasinya langsung dengan modal miliaran dollar seperti sekarang, melainkan dengan modal yang kecil juga. Katakan Anda harus menderita kerugian di awal pun (semua investor pasti pernah mengalami kerugian), Anda kemungkinan besar tidak perlu khawatir karena masih belum memiliki tanggungan. Jadi, saya sangat merekomendasikan Anda untuk memulai sekarang.



Bagi Anda yang saat ini berusia di awal 30 -an, Anda tidak perlu berkecil hati. Anda memiliki kelebihan lain, yaitu mungkin modal yang Anda miliki sekarang sudah jauh lebih besar karena Anda sudah mapan dalam bekerja, namun Anda masih menaruh uang hasil kerja keras Anda di tabungan. Mulai sekarang, Anda bisa mengalihkan tabungan Anda dari bank ke investasi saham. Lo Kheng Hong pertama kali memulai investasi saham di awal usia 30 - an. Jadi, Anda belum terlambat sama sekali.

Demikian pula dengan Anda yang sekarang berusia di awal 40 - an, tidak pernah ada kata terlambat. Anda kemungkinan besar juga memiliki modal yang jauh lebih besar daripada orang yang berusia 30 – an, dan tentunya tingkat kedewasaan yang jauh lebih matang dalam mengolah informasi. Ini adalah modal utama Anda. Anda juga kemungkinan sudah tidak memiliki tanggungan yang terlalu besar, karena kemungkinan anak Anda juga sudah mulai bisa mendapatkan penghasilan sendiri.

Pesan yang ingin saya sampaikan adalah tidak peduli berapa usia Anda sekarang ketika baru memulai investasi saham, kita tidak bisa merubah apa yang telah lewat. Namun, kita bisa mulai mempersiapkan masa depan untuk 5 tahun atau 10 tahun ke depan, dimulai dari SEKARANG.

Satu hal lagi, jika kita melihat kondisi makro ekonomi Indonesia, sekarang ini negara kita ini sedang dalam fase tinggal landas untuk menjadi negara maju di masa depan. Hal ini sama seperti Amerika yang perekonomiannya mulai maju pesat sejak tahun 1950-an (pasca perang dunia kedua). PDB Indonesia sendiri terakhir tercatat US$ 1,866 per kapita, atau naik lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 1990, dan selama 20 tahun terakhir ini trend-nya naik terus (hanya turun sekali pada krisis 1997 – 1998, tapi di tahun-tahun lainnya termasuk 2008, cenderung naik terus). Namun, PDB US$ 1,866 per kapita itu secara relatif masih sangat rendah dibanding banyak negara-negara maju, sehingga ruang bertumbuhnya masih sangat terbuka lebar.


Jadi tunggu apa lagi? Dengan kemajuan teknologi yang memudahkan Anda untuk mempelajari saham, serta momentum yang tepat di mana Indonesia sedang dalam fase tinggal landas untuk menjadi negara maju, rasanya tidak ada alasan untuk tidak memulai investasi Anda sekarang.

Selasa, 07 Februari 2017

Reasonable & Consistent Returns > Spectacular & Volatile Returns

Dari judul di atas, Anda mungkin sudah bisa menebak isi artikel ini. Setelah selesai membaca artikel ini, Anda bisa setuju atau Anda bisa tidak setuju dengan artikel ini. Itu pilihan kita masing-masing.

Dalam artikel ini, Penulis akan sharing mengenai RETURN, sesuatu yang kita sebagai investor saham harapkan dengan menaruh sejumlah uang kita di saham. Ketika terpikir membuat artikel ini, Penulis kembali membayangkan indahnya tahun 2009 yang lampau, di mana profit 2-3% sehari, atau 30% sebulan adalah hal yang sangat amat mudah didapatkan seorang investor saham. Hal tersebut berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun berikutnya.

Screenshot IHSG periode 2008 – 2009

Jika kita lihat screenshot dari IHSG di atas, pada tahun 2008, IHSG terjun bebas dari level 2,750-an pada awal 2008, mencapai titik terendah di di 1,100-an pada akhir Oktober 2008, dan tahun 2009 ketika awal-awal Penulis mulai berinvestasi, Anda bisa lihat IHSG kembali ke level 2,500-an atau IHSG naik lebih dari 100% dalam waktu 1 tahun !!! Luar biasa bukan?

Penulis ingat di tahun 2009 itu, Penulis meraih profit hampir 150% dari modal awal. Saking semangatnya, 80% gaji yang Penulis dapatkan dari bekerja langsung disetorkan untuk membeli saham. Hal ini masih berlanjut di 2010 sampai 2012. Namun, memasuki 2013 cerita mulai berubah. Penulis menjadi serakah. Tujuan awal berinvestasi berubah menjadi seperti meja judi. Dan seperti yang sudah diceritakan, waktu itu Penulis sangat keranjingan membeli saham-saham HOT yang return nya gila-gilaan (baca : seven brothers). Tetapi dari saham-saham HOT ini juga lah, Penulis mengalami kejatuhan.

Semenjak Penulis mempelajari Value Investing, Penulis mendapatkan satu hal yang sangat berharga. Reasonable & Consistent Returns > Spectacular & Volatile Returns. Dalam Value Investing, Penulis belajar bagaimana melihat valuasi sebuah perusahaan berdasarkan laporan keuangannya. Tidak peduli apakah ada saham seksi yang naik gila-gilaan dalam waktu cepat, namun jika laporan keuangannya jelek atau sudah overvalued, maka Penulis TIDAK AKAN MEMBELINYA.

Penulis juga belajat bahwa seorang investor yang menghasilkan profit reasonable namun konsisten setiap tahunnya, secara mengejutkan ternyata menghasilkan uang yang jauh lebih banyak daripada investor yang menghasilkan profit yang spektakuler dari tahun-tahun tertentu, namun juga kehilangan uang nya di tahun-tahun berikutnya. Contohnya? Warren Buffett setiap tahunnya secara konsisten menghasilkan rata-rata annual return 24.7% selama 50 tahun terakhir (atau uangnya meningkat 2X lipat setiap 3 tahun).


Jadi, Anda pilih yang mana? Memilih saham-saham HOT yang menawarkan return spektakuler dengan volatilitas yang tinggi, atau return yang reasonable namun konsisten? Anda sendiri yang punya jawabannya… 

Senin, 06 Februari 2017

Trading atau Investing?

Ketika Penulis mulai berinvestasi di saham tahun 2009, Penulis sangat excited dengan layar trading di depan monitor, yang dihiasi dengan berbagai macam grafik dan fitur-fitur canggih lainnya. Karena fitur-fitur canggih tersebut, Penulis merasa seperti seorang pilot, yang bisa melihat segala macam situasi saham-saham. Mulai dari berita terbaru, riset analis, live trading, dll. Secara tidak sadar, hal tersebut memicu adrenalin kita sebagai investor. Seolah-olah kita merasa berani melakukan transaksi jual dan beli, karena kalau terjadi apa-apa, toh kita cepat tahu karena semua informasi ada di depan mata kita.

Penulis bahkan bisa sampai melakukan intraday trading (beli dan jual saham dalam satu hari yang sama) dalam frekuensi lumayan sering. Pagi saat opening bell melakukan transaksi, dan sore saat menjelang closing bell melakukan transaksi jual. Biasanya meskipun baru naik beberapa poin saja (untung 1% - 2%), Penulis sudah jual saham yang baru saja dibeli. Ada kepuasan tersendiri rasanya ketika dalam waktu 1 hari, uang investasi kita bertambah 1% - 2% (bunga bank saja kalah).

Secara tidak disadari, kebiasaan itu terbawa selama 3 tahun. Ketika market bullish (naik), intraday trading seolah-olah memberikan kenikmatan, karena kita menikmati profit secara CEPAT. Namun, ketika market bearish (turun), rasanya seperti neraka. Seriously. Karena kebiasaan melototin layar trading tersebut, saat kita harus cut loss, rasanya Penulis jadi justru merasa tertantang. “Ahh hari ini loss 2%, besok harus profit 3% pokoknya”, kemudian keesokan harinya cut loss lagi 3%, "Wah 2 hari loss 5%, besok harus profit 7% pokoknya", dst. Begitulah kurang lebih pikiran Penulis saat masih menjadi trader.

Dan, yang seperti sudah pernah dibahas sebelumnya, hal ini lah yang menjadi puncak “kesuksesan” Penulis menuju kejatuhan. Modal Penulis akhirnya lambat laun hanya tersisa 15%. Tujuan awal berinvestasi berubah menjadi seperti meja judi. Ketika kita kalah (baca : cut loss), kita malah menjadi semakin penasaran. Semua fitur-fitur dan informasi canggih dari layar trading seolah-olah menjadi tidak berguna sama sekali. Penulis menjadi stress dan frustasi sampai akhirnya memutuskan menjauh dari dunia investasi saham.

1.5 tahun berlalu, Penulis mempelajari prinsip-prinsip investasi dari Warren Buffett, yang mempraktekkan Value Investing. Berbagai prinsip investasi Buffett sudah pernah dibahas dalam artikel sebelumnya, namun satu prinsip Warren Buffett yang Penulis tekankan kembali di sini adalah “jangan gegabah / terlalu sering membeli dan menjual saham”  Buffett berinvestasi di Coca-Cola pada 1988, dan tak pernah menjual satu lembar pun sahamnya setelah itu. Buffett juga masih memegang American Express, meski telah melewati masa-masa sulit. Seorang Lo Kheng Hong juga pernah membeli saham di MBAI (PT Multibreeder Adirama) selama 6 tahun sebelum kemudian menjualnya dan merealisasikan profit 12,500 % (125X lipat dari modal awal). Sebuah cara berinvestasi yang sangat berbeda bukan? Di titik inilah Penulis kemudian merubah cara berinvestasi Penulis dari seorang trader menjadi seorang investor.

Pertanyaannya sekarang adalah, mana yang lebih baik : Trading atau Investing? Jawabannya adalah kembali lagi kepada gaya anda. Jika Anda bertanya kepada Penulis (dan value investor lainnya), jawabannya tentu saja investing. Mengapa? Karena Value Investing merubah cara pandang kita terhadap naik turun nya sebuah saham. Value Investing tidak fokus kepada naik turunnya saham dalam jangka pendek, melainkan percaya bahwa selama fundamental perusahaan bagus, meskipun harga saham nya turun, toh dia pasti akan naik lagi. Jadi tidak perlu panik untuk menjual, bahkan justru beli saham tersebut lebih banyak lagi. Sementara jika kita masih memakai pola pikir trader, sudah pasti kita akan cut loss.

Satu hal lagi, ketika kita memakai pola pikir trader, maka kita akan stress dan frustasi di depan layar trading melihat warna merah (saham-saham pada berjatuhan). Sementara jika kita memakai pola pikir investor, kita justru akan tetap happy, karena kita tahu bahwa penurunan itu hanya SEMENTARA bahkan justru beli lebih banyak lagi di harga diskon, karena kita juga tahu perusahaan yang kita beli sahamnya tersebut memiliki fundamental yang bagus. Jadi kita bisa tutup laptop, dan jalan-jalan sama keluarga.


Jumat, 03 Februari 2017

8 Investor Mindset Dalam Berinvestasi


Dalam berinvestasi di saham, seorang investor harus memiliki mindset yang tepat. 80% kesuksesan berinvestasi berasal dari mindset yang tepat. Mempelajari teknik pemilihan saham berkontribusi 20%. So, sebelum Anda memiliki skill analisis ataupun teknik pemilihan saham, pastikan terlebih dahulu Anda sudah memiliki mindset yang tepat terhadap saham, atau kita sebut sebagai Investor Mindset.

So, apa saja sih investor mindset itu?

1.       Saham bukan cara cepat menjadi kaya
Ini mindset nomor satu yang harus kita tanamkan di pikiran. Saham bukan cara cepat menjadi kaya. Begitu Anda berpikir saham menjadi cara cepat menjadi kaya, Anda justru akan cepat kehilangan uang Anda. Mengapa? Karena Anda akan menjadi teman dekat Mr Greedy (keserakahan). Percayalah, ketika Anda sudah diselimuti oleh keserakahan, maka Anda akan menjadi gelap mata, dan itu akan menuntun Anda pada kejatuhan.

Lalu bagaimana mindset yang benar? Kembali kita lihat Warren Buffett dengan total kekayaan $ 60.8 miliar, atau Investor kawakan Indonesia, Lo Kheng Hong dengan total kekayaan Rp 2.5 Triliun dari pasar saham, mereka adalah contoh nyata bahwa berinvestasi di saham dapat membuat Anda KAYA, namun BUKAN CEPAT KAYA. Namun, Warren Buffett dan Lo Kheng Hong tidak mencapai itu semua dalam waktu 1 malam, melainkan bertahun-tahun dan secara konsisten.

2.       Kita bertanggung jawab terhadap investasi kita sendiri
Kita sebagai investor adalah tuan rumah terhadap uang yang kita miliki, oleh karena itu sudah selayaknya kita juga bertanggung jawab terhadap investasi kita sendiri. Jangan mempercayakan investasi Anda kepada siapapun selain Anda sendiri. Meminta informasi, pendapat, atau pandangan boleh-boleh saja. Tapi Anda lah yang mengambil keputusan.

Sekedar Anda tahu, banyak Analis saham yang memiliki titel keuangan, namun tidak benar-benar menginvestasikan uangnya. Pertanyaannya, jika memang mereka yakin dengan analisanya tersebut bahwa saham A akan naik, mengapa ia tidak menginvestasikan uangnya sendiri di perusahaan tersebut? Demikian pula dengan pialang saham. Anda perlu memahami bahwa seorang pialang saham dibayar berdasarkan transaction fee. Semakin sering anda bertransaksi, maka fee bagi mereka akan semakin besar, terlepas dari transaksi Anda itu untung atau rugi. So, sekarang Anda paham mengapa Anda harus bertanggung jawab terhadap investasi Anda sendiri.

3.       Takutlah ketika orang lain tamak, dan tamaklah ketika orang lain takut
Ini adalah prinsip investasi Warren Buffett yang paling ampuh, namun memang sulit dilakukan. Pernahkah Anda melihat sebuah saham, yang meskipun fundamental nya jelek, namun naik gila-gilaan? Banyak investor lain jadi mulai tamak dengan menggelontorkan sejumlah uang, tanpa melihat terlebih dahulu fundamental perusahaannya. “Yang penting lagi naik pasti cuan”, begitu kira-kira pikirannya, dan dalam situasi ini, Anda mungkin jadi ikut tergoda. Sejurus kemudian, saham tersebut tiba-tiba berbalik arah menjadi turun dan uang investasi Anda pun jadi nyangkut.

Di sisi lain, tahukah Anda mengapa ketika IHSG turun, turun nya bisa jauh lebih cepat ketika IHSG merangkak naik? Hal ini biasa dikenal dengan panic selling. Di mana suasana pasar yang tadinya optimis, berubah menjadi pesimis. Banyak investor yang mulai panik dan menjual saham nya. Kepanikan tersebut menyebar dengan cepat, sehingga investor lainnya pun ikut menjual sahamnya. “Jual di harga berapapun yang penting laku”, begitu kira-kira gambarannya. Nah di sinilah mindset dan mental seorang investor diuji. Apakah Anda akan ikut panic selling, atau justru memanfaatkan moment ini untuk menambah posisi?

Investor sukses seperti Warren Buffett dan Lo Kheng Hong tahu betul hal ini. Mereka bisa sukses besar dan kaya raya karena berhasil melewati moment seperti ini. Warren Buffett dan Lo Kheng Hong tau, di saat market overheat dan kebanyakan investor mulai tamak, mereka justru menjadi takut dan menyimpan uangnya. Sebaliknya, saat market mengalami bearish (tren menurun), dan kebanyakan investor melakukan panic selling, mereka justru akan mulai “tamak” dan agresif dalam menginvestasikan uangnya.

4.       Penurunan harga saham (selama fundamental nya bagus) adalah KESEMPATAN.
Apabila kita tidak memiliki mindset yang tepat, kita akan melihat penurunan harga saham adalah BENCANA, bahwa uang kita akan berkurang seiring penurunan saham tersebut. Anda akan panik dan anda akan segera cut loss. Namun jika Anda sudah yakin bahwa perusahaan yang Anda beli sahamnya tersebut masih memiliki fundamental yang bagus, maka Anda harus nya tidak perlu khawatir. Justru Anda melihat itu sebagai kesempatan untuk membeli lebih banyak, di harga diskon. Ketika saham tersebut kembali naik, profit Anda akan semakin besar.

Namun, jangan samakan apabila saham yang Anda beli memiliki fundamental yang buruk. Bisa jadi saham tersebut awalnya naik hanya karena “digoreng” oleh bandar, dan Anda tergoda untuk ikut di dalamnya. Jika memang saham sejenis ini yang turun, maka Anda harus segera cut loss sedini mungkin. Jadi Anda perlu lihat lagi apakah saham yang turun tadi memiliki fundamental yang bagus atau tidak.

5.       Diversifikasi tidak selalu berarti memperkecil resiko
Banyak pialang saham atau analis merekomendasikan diversifikasi untuk mengurangi resiko. Well pernyataan ini tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Sekarang kita lihat dahulu pengertian diversifikasi. Analoginya seperti ini. Katakan Anda punya 10 telor, jika anda menaruh telor anda di 1 keranjang dan keranjang tersebut jatuh, maka anda akan kehilangan 10 telor anda. Namun, jika anda menaruh 10 telor anda di 10 keranjang berbeda, dan 1 keranjang jatuh, Anda masih memiliki 9 telor Anda. Namun jangan lupa, Anda jadi akan kehabisan banyak waktu dan tenaga dengan menjaga terlalu banyak keranjang. Sehingga 1 keranjang mungkin dicuri oleh orang lain, 1 keranjang mungkin telurnya membusuk, dll karena Anda menjaga terlalu banyak keranjang.

Lalu bagaimana sebaiknya? Dalam hal berinvestasi saham, diversifikasi memang diperlukan, tetapi tetap harus memperhatikan agar jangan sampai jumlah saham yang Anda pegang terlalu banyak. Bayangkan Anda memiliki saham dari 20 perusahaan yang berbeda, anda harus mengamati perkembangan 20 saham tersebut. Melelahkan bukan? Alangkah baiknya jika diversifikasi itu diukur sesuai kemampuan kita. 5 – 8 saham berbeda Penulis kira range yang cukup optimal, sehingga “keranjang” yang kita jaga juga optimal. Buffett sendiri sebenarnya tidak terlalu menyukai diversifikasi. Menurut Ia, jika memang kita sudah yakin dengan saham yang kita pilih, mengapa hanya menginvestasikan sedikit dari uang yang kita punya? Ini semua kembali kepada tingkat profil resiko yang Anda punya. Jika Anda Risk Taker sejati, mungkin Anda cukup percaya diri memegang 1 – 2 emiten saja. So kenali profil resiko anda.

6.       Harga saham tidak akan naik setiap hari, demikian pula tidak akan turun setiap hari
Tidak ada seorang pun yang dapat menebak arah pergerakan saham dalam jangka pendek, bahkan Analis saham yang memiliki titel panjang pun juga sering salah memprediksi. Selain itu, seringkali Penulis mendengar banyak investor mengeluh “Kenapa saham X 2 hari terakhir turun yah?”. Well ibarat nya mesin mobil, kalau digas terus dengan kecepatan penuh, maka mesin mobil tersebut akan mengalami namanya overheat. Demikian pula dengan saham, tidak mungkin saham tersebut naik setiap hari, demikian pula tidak mungkin saham tersebut akan turun setiap hari. Naik dan turun harga saham dalam jangka pendek adalah sebuah hal yang biasa.

Sebagai seorang investor, Anda sebaiknya menyikapi kenaikan dan penurunan dalam jangka pendek ini dengan bijak. Ingatlah bahwa selama fundamental saham tersebut bagus, percayalah bahwa dalam jangka panjang, saham tersebut akan selalu naik. Satu hal yang menarik, jangan percaya rumor-rumor yang belum jelas kebenarannya. Biasanya rumor-rumor tersebut akan menguap dengan sendiri nya ketika market berbalik arah.

7.       Belilah nilai perusahaan, bukan harga saham nya.
Ingatlah bahwa harga saham yang anda lihat di layar trading tidak berarti apa-apa. Number is just a number. Yang Anda perlu ketahui adalah, berapa nilai perusahaan itu sekarang jika dibandingkan dengan harga saham nya? Apakah undervalued, fair price, atau overvalued? Harga saham 200 BELUM TENTU LEBIH MURAH daripada harga saham 10,000. Semua kembali kepada fundamental perusahaan masing-masing. Value Investing mengajarkan kepada kita cara melihat nilai perusahaan / intrinsic value dari sebuah perusahaan.

Terkait dengan hal ini, jangan membeli kucing dalam karung. Artinya jangan membeli saham sebelum anda melihat laporan keuangan dan melakukan Analisa fundamental perusahaan tersebut. Belilah saham yang Anda pahami betul bisnisnya. Mungkin preferensi saya dan Anda berbeda. Sepanjang fundamental perusahaan tersebut bagus dan Anda memahami proses bisnisnya, maka jangan ragu untuk membelinya.

8.       Let the Profit Run.
Nah ini dia yang ditunggu-tunggu. Jika memang kita sudah memutuskan untuk membeli saham dengan fundamental bagus di saat harga nya masih undervalued, mungkin pada awalnya saham tersebut tidak langsung naik (karena tidak banyak investor yang memahami konsep value investing dan analisa fundamental). Namun cepat atau lambat, market akan menyadari bahwa saham tersebut “salah harga”. Di saat investor mulai melirik saham tersebut, anda tinggal duduk manis dan biarkan harga saham naik dengan sendirinya. Jika banyak pialang saham atau analis saham sering merekomendasikan untuk take profit jika saham sudah naik 10% – 20%”, maka Value Investing tidak tertarik hanya dengan profit 10% atau 20%. Selama fundamental perusahaan masih bagus dan belum overvalued, maka saham tersebut sebaiknya di hold terus.

Lalu kapan jual nya? Bersabarlah.. Anda mungkin tidak bisa membayangkan berapa profit yang akan Anda nikmati. Ingat bahwa Lo Kheng Hong pernah profit 12,500% ketika dia membeli saham MBAI (PT Multibreeder Adirama Indonesia), yang bergerak dalam bidang pembibitan ayam. Lo Kheng Hong membeli sewaktu MBAI masih di harga 250 dan menyimpannya selama 6 tahun, dan baru dijual saat harganya mencapai 31,500. Dengan kata lain, investasi Lo Kheng Hong di MBAI berkembang sebanyak 125X lipat !!!


Sekarang Anda sudah memahami mindset dan mental yang tepat untuk menjadi seorang investor. Namun mengetahui dan memahami saja tidak cukup, perlu KONSISTENSI dalam mempraktekannya. Bagaimana caranya? Yaa segera mulai investasi Anda sekarang juga.. Yuk kita bersama-sama belajar untuk lebih konsisten mempraktekkan mindset seorang investor ini dalam berinvestasi.