Ketika Penulis
mulai berinvestasi di saham tahun 2009, Penulis sangat excited dengan layar
trading di depan monitor, yang dihiasi dengan berbagai macam grafik dan
fitur-fitur canggih lainnya. Karena fitur-fitur canggih tersebut, Penulis
merasa seperti seorang pilot, yang bisa melihat segala macam situasi
saham-saham. Mulai dari berita terbaru, riset analis, live trading, dll. Secara
tidak sadar, hal tersebut memicu adrenalin kita sebagai investor. Seolah-olah kita merasa
berani melakukan transaksi jual dan beli, karena kalau terjadi apa-apa, toh
kita cepat tahu karena semua informasi ada di depan mata kita.
Penulis bahkan
bisa sampai melakukan intraday trading
(beli dan jual saham dalam satu hari yang sama) dalam frekuensi lumayan sering.
Pagi saat opening bell melakukan
transaksi, dan sore saat menjelang closing
bell melakukan transaksi jual. Biasanya meskipun baru naik beberapa poin
saja (untung 1% - 2%), Penulis sudah jual saham yang baru saja dibeli. Ada
kepuasan tersendiri rasanya ketika dalam waktu 1 hari, uang investasi kita bertambah 1% -
2% (bunga bank saja kalah).
Secara tidak
disadari, kebiasaan itu terbawa selama 3 tahun. Ketika market bullish (naik), intraday trading seolah-olah memberikan kenikmatan, karena kita
menikmati profit secara CEPAT. Namun, ketika market bearish (turun), rasanya seperti neraka. Seriously. Karena kebiasaan melototin layar trading tersebut, saat
kita harus cut loss, rasanya Penulis
jadi justru merasa tertantang. “Ahh hari ini loss 2%, besok harus profit 3%
pokoknya”, kemudian keesokan harinya cut loss lagi 3%, "Wah 2 hari loss 5%, besok harus profit 7% pokoknya", dst. Begitulah kurang lebih pikiran Penulis saat masih menjadi trader.
Dan, yang
seperti sudah pernah dibahas sebelumnya, hal ini lah yang menjadi puncak “kesuksesan”
Penulis menuju kejatuhan. Modal
Penulis akhirnya lambat laun hanya tersisa 15%. Tujuan awal berinvestasi berubah menjadi
seperti meja judi. Ketika kita kalah (baca : cut loss), kita malah menjadi semakin
penasaran. Semua fitur-fitur dan informasi canggih dari layar trading seolah-olah menjadi tidak berguna sama sekali. Penulis menjadi stress dan frustasi sampai akhirnya memutuskan menjauh dari dunia investasi saham.
1.5 tahun
berlalu, Penulis mempelajari prinsip-prinsip investasi dari Warren Buffett,
yang mempraktekkan Value Investing. Berbagai prinsip investasi Buffett sudah
pernah dibahas dalam artikel sebelumnya, namun satu prinsip Warren Buffett yang
Penulis tekankan kembali di sini adalah “jangan gegabah / terlalu sering
membeli dan menjual saham” Buffett berinvestasi di Coca-Cola pada 1988,
dan tak pernah menjual satu lembar pun sahamnya setelah itu. Buffett juga masih
memegang American Express, meski telah melewati masa-masa sulit. Seorang Lo
Kheng Hong juga pernah membeli saham di MBAI (PT Multibreeder Adirama) selama 6
tahun sebelum kemudian menjualnya dan merealisasikan profit 12,500 % (125X
lipat dari modal awal). Sebuah cara berinvestasi yang sangat berbeda bukan? Di
titik inilah Penulis kemudian merubah cara berinvestasi Penulis dari seorang
trader menjadi seorang investor.
Pertanyaannya
sekarang adalah, mana yang lebih baik : Trading atau Investing? Jawabannya
adalah kembali lagi kepada gaya anda. Jika Anda bertanya kepada Penulis (dan
value investor lainnya), jawabannya tentu saja investing. Mengapa? Karena Value
Investing merubah cara pandang kita terhadap naik turun nya sebuah saham. Value
Investing tidak fokus kepada naik turunnya saham dalam jangka pendek, melainkan
percaya bahwa selama fundamental perusahaan bagus, meskipun harga saham nya
turun, toh dia pasti akan naik lagi. Jadi tidak perlu panik untuk menjual,
bahkan justru beli saham tersebut lebih banyak lagi. Sementara jika kita masih
memakai pola pikir trader, sudah pasti kita akan cut loss.
0 komentar:
Posting Komentar