Saya sangat
semangat sekali ketika menulis artikel ini. Semangat karena cut Loss menjadi
menu sehari-hari ketika Penulis masih menjadi seorang active trader. Mulai dari
cut loss 2 – 3% sampai dengan cut loss puluhan persen.
Ketika menjadi
trader, Penulis tidak memperhatikan yang namanya analisa fundamental (dan ini
kebodohan Penulis yang terbesar). Penulis hanya melihat grafik dan chart
mingguan, serta sentimen terbaru tentang perusahaan. “chart nya cakep nih..”
itu saja yang ada di pikiran Penulis dalam memutuskan membeli sebuah saham
ketika menjadi trader. Beberapa hari setelah beli, ternyata seringkali saham
tersebut ternyata malah turun. Dalam trader, kita mengenal batas stop loss,
biasanya 5%, sehingga kerugian yang kita alami kita batasi hanya 5%. Sekilas
ini ide yang bagus, karena seolah kita membatasi kerugian agar tidak terlalu
besar. Selanjutnya apa yang terjadi? Setelah cut loss, biasanya kita penasaran
dan berharap saham tersebut jatuh lebih dalam lagi supaya kita siap menampung
di bawah. Ternyata apa yang terjadi? Saham tersebut malah rebound ke atas dan
kita ketinggalan kereta. Kita cuma bisa gigit jari. “Sialan, tau gitu gk gw
jual”. Pasti banyak yang berpikiran begitu. Anda perlu hati-hati, jika Anda
mulai seperti ini, Anda secara tidak sadar mulai melihat investasi di saham ini
seperti meja judi.
“Wah, kalau
saham turun, artinya kita gk usah jual alias hold aja terus pak?” Well, enggak
juga. Penulis ingat membeli saham BUMI di harga 800 ketika akhir tahun 2012,
dan sempat uptrend menyentuh 1000. Tak lama kemudian, BUMI kembali turun ke
700, 600, 500, dan terus turun. Para Analis waktu itu rekomendasi HOLD, karena sentimen-sentimen
nya masih positif. Kemudian turun terus 400, 300, 200.. Barulah di harga 200
ini, para analis merekomendasikan SELL. Kalau kita hitung, penurunannya sudah
75%. Penulis hanya bisa pasrah. Antara rela dan tidak rela rugi 75% (Meskipun
saat artikel ini ditulis BUMI rebound ke level 400 - 500, namun sempat 2 tahun
nongkrong di 50 dan tidak ada bid). Belum lagi, waktu itu Penulis juga menggunakan
margin (kebodohan Penulis yang kedua), sehingga yang Penulis jual waktu itu
adalah saham lain (yang sialnya posisi nya lagi nyangkut juga). Setelah Penulis
memahami konsep Value Investing, dan Penulis melihat laporan keuangan BUMI,
barulah di situ Penulis hanya bisa meratapi nasib (lebay mode on).
Grafik saham BUMI periode 2012 – 2017
“Waduh kalau
gitu, gimana saya tahu kapan harus cut loss dan kapan harus hold?” Oke begini,
sebelum pertanyaan tersebut kita jawab, kita perlu ingat terlebih dahulu prinsip
investasi Warren Buffett, “Never lose
money on investment”. Di sini Buffett mengindikasikan, bahwa sebelum
memutuskan untuk membeli sebuah saham, seorang investor harus tahu betul
fundamental perusahaan tersebut, dan apakah kita membeli saham tersebut di
harga yang murah (undervalued) atau
mahal (overvalued). Jadi, jangan
membeli saham karena ikut-ikutan arus karena saham tersebut lagi naik kenceng.
Yang kedua, dalam
investasi kita tahu bahwa pergerakan saham sangat volatile. Dalam jangka pendek, sebuah saham akan naik dan turun
seiring dengan sentiment positif dan negatif. Namun dalam jangka panjang, semua
itu kembali kepada FUNDAMENTAL
PERUSAHAAN. Anda perlu menganalisa dan melihat lebih dalam, alasan mengapa
saham yang Anda pegang saat ini sedang mengalami penurunan.
Oke, kembali ke
pertanyaan, “kapan saya harus cut loss dan kapan harus hold?”. Dalam Value
Investing, selama saham tersebut masih
memiliki FUNDAMENTAL YANG BAGUS dan masih BELUM OVERVALUED, maka investor
disarankan tetap untuk HOLD saham tersebut. Sementara apabila saham tersebut memiliki FUNDAMENTAL YANG JELEK (atau tidak lagi
sebagus sebelumnya) dan SUDAH OVERVALUED, maka investor disarankan untuk SELL
saham tersebut.
Untuk lebih
mudahnya, saya akan memberikan Anda 2 contoh:
CONTOH 1 :
Saham A anda beli di harga 500, kemudian turun
menjadi 450. Anda cek fundamental perusahaan tersebut. Ternyata berdasarkan
laporan keuangan terakhir perusahaan tersebut Net Profit nya masih bertumbuh, EPS nya naik, PER nya masih masuk
kategori murah dan di bawah industry, PBV nya juga masih masuk kategori murah, ROE
nya pun masih relatif oke. Dan setelah Anda teliti lagi, ternyata saham
tersebut turun karena ada sentimen atau rumor negatif yang menimpa perusahaan
tersebut. Maka Anda masih okay untuk
HOLD saham ini karena penurunannya hanya sementara dan pasti akan rebound lagi.
Bahkan kalau Anda masih mempunyai cadangan cash, Anda boleh saja menambah
posisi untuk averaging down.
CONTOH 2 :
Saham B anda beli di harga yang sama 500,
kemudian turun juga menjadi 450. Anda cek fundamental perusahaan tersebut.
Ternyata berdasarkan laporan keuangan terakhir perusahaan tersebut Net Profit nya turun dibandingkan periode
sebelumnya atau malah RUGI, EPS nya turun, PER nya sudah masuk kategori mahal
dan di atas industry, PBV nya juga sudah masuk kategori mahal, ROE nya pun
kecil. Namun masih ada sejumlah pihak yang menghembuskan prospek positif
misalkan akan ada project besar di 2 – 3 tahun mendatang. Maka Anda tidak usah ragu lagi untuk SELL saham ini. Meskipun ada prospek positif tentang
project besar 2 – 3 tahun mendatang, toh itu kn masih prospek. Bisa jadi bisa
tidak. Dapat project nya pun belum tentu menguntungkan buat perusahaan
tersebut.
So, semoga
sekarang Anda lebih memahami kapan kita perlu untuk Cut Loss dan kapan kita
perlu untuk hold saham yang kita pegang. Jika Anda masih kurang jelas, Anda
dapat bertanya melalui Facebook : www.facebook.com/ValueInvestingIndonesia,
atau reply via website / blog ini. Anyway, jika Anda kurang setuju dengan artikel
ini juga sah-sah saja J.
0 komentar:
Posting Komentar